Buat Kebahagiaan Lo Sendiri
"Jangan lo serahkan tanggung jawab dan kendali atas kebahagiaan lo sendiri kepada orang lain"
~~~ :*: ~~~
Jebakan Sosial Media
Zaman yang semakin mobile, komputer selalu dekat dengan kita, bahkan hampir seluruh waktu kita untuk bersantai dihabiskan bersama komputer di sekitar kita. Sebelum tidur, sebelum makan, sesudah makan, waktu senggang, bahkan ke toilet pun kita membawa komputer. Dengan akses teknologi sesering itu, semakin mudah juga kita mengakses akun sosial media.
Sosial media kebanyakan hanyalah berupa sampul kebahagiaan. Setiap hari kita konsumsi hal tersebut, dan lama kelamaan tanpa sadar muncul perasaan ingin memiliki, dan lebih jauh lagi, mulai merasa hidup kita tidak seindah mereka dan ini mempengaruhi jalan pikir lo tentang kebahagiaan.
Tanpa refleksi yang rutin dilakukan, perlahan namun pasti, kita akan masuk ke dalam jebakan sosial media, dan mengurangi rasa syukur kita atas apa yang kita miliki saat ini. Kita merasa bahwa taraf bahagia yang ada di sosial medialah yang harus kita kejar, harus kita alami, baru kita bisa merasakan kebahagiaan.
Gw yakin lo pernah denger istilah, di atas langit masih ada langit. Jika kita terjebak ke dalam perulangan tiada henti akan situasi itu, mendapat yang kita mau tapi muncul lagi rasa tidak puas ketika melihat sesuatu yang lebih lagi, kita tidak akan pernah merasa bahagia atas segala pencapaian kita.
Padahal kita lupa, kalo kondisi dan kenyamanan yang kita miliki saat ini adalah situasi dan kondisi yang diinginkan orang lain. Tempat tinggal minimalis saat ini merupakan idaman bagi mereka yang berjuang di jalanan. Kasur dengan per mencuat merupakan idaman bagi mereka yang beralaskan aspal dan trotoar.
Standarisasi Kebahagiaan
Mungkin diantara lo ada sering denger di obrolan, "Gitu aja udah bangga. Gitu aja udah seneng." Seakan meremehkan kebahagiaan orang lain dan menganggap bahwa taraf kebahagiaannya lebih mulia dari itu. Selain sosial media, kata-kata tersebut bisa menjadi pembunuh yang efektif atas rasa syukur dari orang yang mendengar hal itu.
Kalimat itu bisa jadi pikiran dalam bagi orang lain, seakan
kebahagiaannya itu tidak ada artinya dibandingkan standard kebahagiaan
milik orang lain, dan menganggap bahwa peristiwa itu adalah peristiwa
yang biasa saja. Kebahagiaan bukan sebuah rumus pasti.
Kebahagiaan bersifat relatif tergantung sudut pandang,
pengalaman, dan situasi dari individu.
Persepsi Kebahagiaan
Sebenarnya, seluruh peristiwa bersifat netral. Baik atau buruknya, sedih atau bahagianya yang dirasakan adalah kita yang memberi nilai. Inilah yang menjadi salah satu dasar dari sebuah filsafat Yunani Kuno, Stoicisme atau Filosofi Teras. Berdasarkan pernyataan tadi, memperjelas bahwa kebahagiaan memang bersifat relatif, karena persepsi dan pewarnaan emosi sebuah peristiwa berasal dari masing-masing individu.
Contoh, seorang anak SD kelas 1, berhasil mengerjakan soal matematika penjumlahan sederhana seorang diri tanpa bantuan, dapat menciptakan rasa bahagia dan bangga, meski bagi kita hal itu biasa saja. Berdasarkan pengalaman si anak tersebut, hal itu merupakan pengalaman pertamanya dan sudah cukup membuatnya bahagia.
Untuk dapat melihat lebih jelas lagi,
kita ambil contoh kasus. Alpha dan Beta adalah dua orang sahabat. Alpha
sejak dulu tidak pernah mengalami situasi yang berkekurangan, selalu
berkecukupan. Saat ini, dia memiliki sebuah pekerjaan dengan gaji yang lumayan, namun mengharuskannya
berangkat dari pagi dan pulang sore hari, bekerja selama 8 jam dan
menempuh jarak 16 Km sekali jalan. Hampir tiap hari dia terjebak
kemacetan. Setiap hari, Alpha menjalani
situasi tersebut, menyebabkan ia kelelahan dan sering mengeluh kepada Beta setiap kali bertemu.
Beta merupakan seorang yang harus berjuang lebih untuk
menjalani kehidupan sehari-harinya. Terkadang, Beta hanya bisa makan
sehari sekali. Beta masih berusaha mencari pekerjaan, sambil kerja serabutan
membantu pengusaha kecil di sekitar rumahnya. Setiap pekerjaan yang berhasil ia dapat, sangat membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tapi, Beta cukup bahagia dengan membantu orang-orang disekitarnya meski bayarannya tak besar dan mereka pun bersikap baik pada Beta.
Peristiwa pertama dari kasus tersebut adalah Alpha memiliki pekerjaan yang mapan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peristiwa itu sendiri, bernilai sebagai fakta dan tidak mengandung emosi. Namun bagi subjek yang menjalaninya, tergantung persepsi mereka.
Berdasarkan pengalaman si Alpha yang selalu berkecukupan, menganggap pekerjaan itu melelahkan karena dia harus menghadapi macet dan menghabiskan waktu dari pagi hingga sore. Berdasarkan pengalaman si Beta, dia benar-benar membutuhkan pekerjaan, dan menganggap pekerjaan yang melelahkan bagi si Alpha adalah harapan yang diinginkan untuk Beta agar terbebas dari situasinya yang kesulitan.
Terlihat jelas relativitas kebahagian. Peristiwanya itu sendiri bersifat netral. Namun pengalaman dan sudut pandang masing-masing individu yang memberikan warna yang berbeda terhadap peristiwa tersebut.
Tanggung Jawab Kebahagiaan
Setiap orang memiliki sumber kebahagiaannya masing-masing. Pekerjaan mereka, hobi dan rutinitas, orang-orang tersayang, dan bahkan tanggal merah di kalender. Tidak salah jika kita menjadikan itu sebagai sumber kebahagiaan. Namun perlu diingat, semua hal tersebut adalah pinjaman. Hal ini juga diyakini oleh stoicisme. Kita tahu bahwa semuanya di dunia tidak ada yang abadi, karena itu disebut pinjaman.
Jadi, jika
kita menjadikan sesuatu yang tidak abadi tersebut menjadi sumber utama
kebahagiaan, maka sebenarnya kita menabung rasa putus asa. Jangan kita
letakkan tanggung jawab dan kontrol akan kebahagiaan kita sepenuhnya pada hal-hal yang tidak abadi tersebut, karena jika sewaktu-waktu mereka
ditarik dari hidup kita, maka hancurlah kita sekaligus.
Kebahagiaan merupakan tanggung jawab masing-masing orang. Tidak salah jika
menjadikan mereka sebagai sumber kebahagiaan, selama kita sendiri
menyadari bahwa sumber tersebut tidak abadi dan tanggung jawab selalu
ada dalam kendali kita, selalu berasal dari persepsi kita.
Sumber Kebahagiaan
Kita sudah tahu bahwa standard kebahagiaan secara tidak langsung tercipta dengan gaya hidup sosial di sekitar kita. Namun kita tahu hal lainnya bahwa sebenarnya kebahagian itu bersifat relatif dan tidak memiliki standard. Lalu, bagaimana kita bisa menemukan kebahagiaan?
Inilah kabar baiknya dari kebahagiaan bersifat relatif. Kita tahu bahwa peristiwa bersifat netral, persepsi kita yang memberi nilai. Kita tahu sumbernya adalah persepsi kita sendiri, maka itulah yang menjadi sumber utama kebahagiaan, yaitu diri kita sendiri.
Sudah dibahas sebelumnya bahwa banyak sekali hal di dunia ini yang bisa dijadikan sebagai sumber kebahagiaan. Namun kita tahu bahwa itu tidak abadi dan tanggung jawab harus selalu dalam kendali kita. Jadi, dengan kesadaran diri dan persepsi yang kita punya, dapat dibentuk untuk meningkatkan rasa syukur sehingga kebahagian tersebut akan lebih mudah tercapai terhadap kondisi ataupun apa yang kita punya saat ini juga.
Keputusan Di Pihak Kita
Sekarang kita sudah tahu bahwa persepsi kebahagiaan sangat bergantung pada diri sendiri. Kita telah melihat bahwa dunia luar seakan-akan membentuk definisi dan standard kebahagiaan, menjadikan taraf kebahagiaan berlaku sama dan menjerat setiap orang. Kita tahu bahwa standard itu berdiri kokoh, dan menyebabkan kita kehilangan kebahagiaan milik sendiri. Tapi sekarang, kita telah mengetahui bahwa segala peristiwa sebenarnya bersifat netral dan manusialah yang melabeli peristiwa itu dengan emosinya sendiri.
Karena itulah, kuasa, tanggung jawab, dan kendali atas kebahagiaan kita ada pada diri kita. Persetan dengan standard kebahagiaan umum dan orang-orang yang merendahkan kebahagiaan orang lain. Kebahagiaan itu milik semua orang, selama orang tersebut memiliki rasa syukur dan persepsi yang positif.
Kebahagiaan itu bersifat relatif, bukan mutlak mengikut standard. Jangan lo serahkan tanggung jawab dan kendali atas kebahagiaan lo sendiri kepada
orang lain. Lo sendirilah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan lo.
Komentar
Posting Komentar