Berteman dengan Masalah dan Depresi
"Jika masalah di luar kendali, ingatlah bahwa perang tidak selalu dimenangkan hanya dengan menyerang, tapi juga dengan bertahan."
~~~ :*: ~~~
Artikel sebelumnya, "101 Karakteristik Masalah yang Perlu Diketahui", kita telah mengumpulkan informasi penting mengenai sifat-sifat dan karakteristik dari masalah. Dengan data yang kita miliki, kita olah untuk membangun dan merombak sudut pandang baru untuk menyiapkan aksi nyata yang bisa diambil dan berhati-hati agar tidak terjebak pada situasi tertentu.
Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa masalah pasti akan selalu ada dan memang dibutuhkan untuk kita agar dapat berkembang dengan pencapaian yang didapat dari masalah yang sudah dipecahkan. Namun kita juga sudah mengetahui bahwa setiap masalah yang ada belum tentu dapat kita selesaikan karena beberapa masalah memang di luar kendali kita, tetapi tetap dapat membuat mental kita berkembang dengan hidup berdampingan bersama masalah tersebut.
Sudut Pandang Menanggapi Masalah
Meskipun permasalahan yang dihadapi memiliki karakteristik yang berbeda, terdapat satu kesamaan yang bisa kita gunakan untuk membangun pelindung mental yang kuat, yaitu sudut pandang dan persepsi kita. Inilah kunci dan jawaban utama hampir di semua masalah. Bahkan dalam artikel sebelumnya berjudul "Melawan Takdir", persepsi dan sudut pandang manusia memang memegang peranan penting.
Sudut pandang murni dibangun dan selalu ada dalam kendali masing-masing individu, terlepas apapun situasinya. Situasi memang mempengaruhi kita dalam mengambil sudut pandang atas suatu hal, tetapi kita tetap dapat membentuk sudut pandang apapun yang kita mau karena kuasa penuh ada di tangan kita. Contoh konyolnya adalah, kita dapat beranggapan bahwa 1 + 1 adalah 5, terlepas apapun faktanya. Oleh karena itu terkadang kita suka menemui orang yang keras kepala, karena mereka yakin akan sudut pandang yang mereka bentuk dan tidak terpengaruh dengan orang lain.
Sudut Pandang Sebagai Awal
Pada artikel sebelumnya, kita menggunakan analogi seorang mahasiswa yang mendapat nilai yang buruk di salah satu mata kuliahnya. Baginya, hal tersebut adalah sebuah masalah yang bisa membuatnya putus asa. Sebenarnya, dari titik tersebut, ada banyak langkah yang bisa terjadi dan semuanya diawali dengan bagaimana mahasiswa melihat masalah tersebut.
Jika dia menanggapi masalah tersebut dengan memandang dirinya sebagai pribadi yang tidak bisa belajar dengan baik, tidak berbakat di bidang tersebut, dan menganggap dirinya bodoh, maka itulah yang terjadi sepanjang hidupnya dan akan berpikiran yang sama setiap kali menghadapi masalah yang serupa di bidang apapun.
Namun jika dia berpikir bahwa dia belajar kurang maksimal, kurang memahami konsep, dan kurang meluangkan waktu dan fokus yang baik, maka waktu yang ia gunakan untuk murung dan meratap, hanya akan berlangsung sementara dan langsung memotivasi diri untuk berusaha lebih baik, meskipun hasilnya mungkin hanya sedikit lebih baik. Namun hal itu sudah cukup memuaskannya dan karakter inilah yang akan dia miliki setiap kali menghadapi masalah.
Jika dia menganggap bahwa dia akan mendapat nilai jelek di semua mata pelajaran hanya karena nilai di satu mata kuliah itu buruk, maka dia baru saja menjadikan masalah yang sebenarnya bersifat atomik menjadi saling berkaitan dan itu akan benar-benar terjadi. Kekuatan mental yang dikomando seperti itu, akan membentuk pribadinya seperti itu ketika mengalami hal serupa atau bahkan masalah lain yang berbeda.
Jadi, ketika kita menghadapi masalah, perlu membentuk sudut pandang dengan situasi yang tenang, jangan hiraukan perasaan gelisah atau tak nyaman dari masalah tersebut. Coba tarik napas dalam dan buang, lakukan hingga diri merasa tenang, lalu barulah bentuk sudut pandang seobjektif mungkin.
Jangan sampai perasaan subjektif ikut terbawa dan menciptakan pemikiran negatif akan diri sendiri, karena bisa saja kita terjebak dalam situasi, play as a victim. Jika dari sudut pandang yang dibentuk di awal sudah negatif, maka akan sangat sulit untuk menghadapai masalah yang ada.
Situasi Di Luar Kendali
Tak perlu disangkal bahwa banyak manusia memiliki sebuah masalah berat, yang mungkin hingga saat ini belum terpecahkan solusinya dan bahkan kita sendiri sepertinya sudah merelakan bahwa masalah tersebut tidak akan pernah beres. Kembali lagi dihadapkan kepada sudut pandang.
Memang benar, akan ada masalah-masalah yang sangat berat dan bingung bagaimana kita bisa memecahkan masalah tersebut karena sebenarnya memang di luar kendali kita. Bahkan beragam cara sudah dicoba namun tetap saja gagal dan masalah tersebut selalu menghantui kita. Hal ini yang bisa menimbulkan gejala-gejala depresi hingga kondisi mental yang lebih buruk.
Bagi mereka yang memiliki support system (teman, keluarga, pacar / kekasih) yang baik, mereka bisa berbagi kisah dan masalah mereka dengan orang-orang terdekatnya. Bagi mereka yang religius, mereka bisa berkeluh kisah dengan Sang Pencipta. Bagi mereka yang memiliki semua itu, tentu mereka memiliki semangat lebih untuk bisa melewati masalah tersebut.
Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki semua keistimewaan tersebut, mereka yang memiliki lingkungan pertemanan dan keluarga yang buruk, mereka yang tidak terlalu religius bahkan ateis, dan bagi mereka yang berkesulitan untuk bisa mengungkapkan hal-hal ekspresif tersebut.
Blog ini memang diciptakan untuk setiap orang secara universal, tanpa memandang agama dan status sosial setiap orang. Selama mereka dikategorikan sebagai manusia, maka blog ini relevan untuk mereka. Saya tidak akan menyuruh orang-orang tersebut segera mencari teman atau berdoa kepada Sang Pencipta, karena bukan kapasitas saya untuk melakukan hal tersebut dan juga dibutuhkan waktu yang panjang, tapi hal tersebut bisa menjadi pilihan.
Namun, yang ingin saya sadarkan adalah, setiap kali menghadapi masalah, kita selalu membawa diri, kepribadian, dan sifat kita sebagai manusia dan kita masih memiliki akal dan logika untuk membentuk pandangan dan interpretasi kita terhadap suatu masalah.
Itulah mengapa sebelumnya sangat ditekankan agar tidak terlalu terjebak dalam pikiran negatif atau membawa perasaan subjektif yang kuat yang pasti akan muncul ketika menghadapi masalah. Pandangan dan interpretasi atas suatu peristiwa tergantung setiap orang yang memandangnya. Kedua hal tersebut terbentuk oleh dirimu sendiri dan kamulah yang memegang kendali penuh, terlepas dari situasi apapun.
Jika kamu terlalu terjebak dalam situasi pikiran negatif, maka pandangan dan interpretasi kamu juga akan menjadi negatif, dan dengan demikian, kamu kehilangan satu-satunya sumber yang menyelematkan diri kamu sendiri dari masalah (terlepas dari support system dan religius). Jadi, kendalikan pemikiranmu.
Jika
menghadap suatu masalah yang dirasa tidak akan terselesaikan, ganti arah
kita memandang masalah tersebut. Jika itu memang tidak bisa dikalahkan,
maka hiduplah berdampingan dengan hal tersebut dari sudut pandang yang
berbeda. Ingat, peperangan tidak selalu dimenangkan dengan menyerang,
tetapi juga bertahan. Bagaimana caranya? Saya akan menjelaskannya dalam
sebuah kisah.
Kisah Sudut Pandang yang Memacu Revolusi Diri
Seorang mahasiswa tidak memiliki banyak teman, dikarenakan setiap dia berkumpul dengan banyak teman lainnya, dia selalu menjadi bahan ejekan dan ini sudah terjadi sejak ia di tingkat menengah sehingga menjadikan dia sebagai anak yang tertutup dan bodo amat dengan sekitar. Dia juga memiliki keluarga yang tidak harmonis, dan persepsi dia tentang keagamaan sangat terguncang karena banyaknya peristiwa yang dialami dari orang-orang yang mengaku taat beragama dan rajin beribadah.
Semua itu menjadikan dia sebagai anak yang tidak ekspresif mengungkapkan hal-hal emosional dalam dirinya dan merasa aneh jika bercerita kepada orang lain. Jadi kita tahu kondisinya bahwa support system dia sudah hancur dan sikapnya yang tertutup.
Ia juga tidak memiliki seorang kekasih. Kisah asmara yang ia harapkan untuk dapat dijadikan support system tidak berjalan dengan baik dan usahanya yang terakhir mendapatkan jawaban yang jelas dan memberikan pukulan telak yang merobohkannya. Dia juga sangat kurang berkontribusi pada sebuah proyek tugas kampus karena ketidakmampuannya memahami mata kuliah tersebut. Ditambah lagi kondisi dunia yang saat itu tidak baik, dan memaksanya harus berada di rumah dan tidak mendapat penghasilan dalam jangka waktu yang cukup lama dari pekerjaan sampingan yang ia jalani sehingga menimbukan masalah keuangan pribadinya.
Baginya saat itu, merupakan pengalaman menyedihkan yang datang secara bersamaan dengan hancurnya support sysyem. Serentetan peristiwa tersebut terjadi dalam waktu singkat, menimbulkan bola masalah yang begitu besar, ditambah lagi beberapa peristiwa itu terjadi di luar kendalinya dan menghasilkan masalah yang juga dianggap di luar kendalinya. Dia melihat seluruh peristiwa sebagai permasalahan yang saling berhubungan dan akan terjadi terus menerus. Ingin sekali ia keluar, tapi dia terjebak dalam ketidakberdayaannya dan pola pikirnya yang menganggap dirinya sebagai victim.
Tentu selama berbulan-bulan, dia benar-benar tanpa semangat menjalani keseharian, meskipun dia memaksakan diri. Setiap saat hanya diwarnai dengan kecemasan dari segala sisi, perasaan menyesal atas pilihan yang diambil, dan keributan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal-hal itu membuatnya sulit tidur setiap malam dan hampir setiap saat dia hanya bisa tidur kurang dari 3 jam hingga tidak dapat tidur.
Tak jarang malam-malam itu dilalui hanya
dengan menangis dan perasaan ingin mengakhiri hidup. Dia bahkan sempat
mencari cara yang cepat dan bersih agar tidak menimbulkan sakit dan kerepotan
lebih. Dia terjebak dalam situasi ini, menganggapnya sebagai pribadi
yang tidak bisa apa-apa seperti korban yang tidak berdaya dan
pemikiran negatif akan dirinya secara rutin terbentuk selama 4
bulan.
Namun, dia menghentikan segala pikiran negatif sejenak dan menyadari hal ini yang sangat tidak baik untuk dilihatnya sendiri. Dia membayangkan dirinya terpisah dari tubuhnya, dan melihat keadaannya saat itu dan menimbulkan rasa tak tega kepada dirinya sendiri. Dia mulai kembali merangkai peristiwa-peristiwa tersebut dan menelaahnya per bagian. Dia termotivasi untuk menolong dirinya sendiri. Dia sadar bahwa jika dia tidak mengambil tindakan apapun, masalah itu akan tetap ada dan bahkan bisa bertambah buruk untuk kedepannya.
Dia mulai mengubah sudut pandangnya akan bola besar masalah tersebut, menyadari bahwa masalah-masalah tersebut bersifat atomik, lalu membaginya menjadi bola-bola kecil. Setiap dari bola kecil tersebut, dia pisahkan, mana masalah yang bisa ia selesaikan atau dalam kendalinya, mana masalah yang ada di luar kendalinya, dan mana masalah yang separuhnya ada dalam kendali dirinya (Dalam Filosofi teras, ini dikenal sebagai dikotomi kendali yang kemudian dikembangkan menjadi trikotomi kendali).
Untuk masalah yang ada di dalam
kendalinya, seperti kurang bekontribusi dan ketakutan akan karir, maka
dia mengubah kekhawatirannya tersebut untuk mempelajari lagi di bidang
yang akan ia jalani. Satu masalah selesai. Untuk lingkungan keluarga,
seberusaha apapun dia berusaha menghentikan dan senetral mungkin,
tetap tidak bisa diselesaikan olehnya. Maka dia melatih sikap cuek
karena itu di luar kendalinya dan belajar untuk hidup berdampingan
dengan hal itu dengan emosi yang lebih baik.
Untuk lingkungan pertemanan, dia benar-benar selektif dan belajar beradaptasi dengan berbagai perilaku, belajar bahwa sikap dan karakter orang di luar kendalinya, dan mencoba memahami hal apa yang melatarbelakangi mereka seperti itu untuk memunculkan sifat maklum serta melatih sikap bodo amatnya. Masalah tersebut ia kategorikan dengan kendali sebagian.
Dan untuk masalah asmaranya, dia memutuskan untuk mengimunisasi dirinya dengan berbagai kemungkinan buruk untuk beberapa tahun kedepannya dan memutuskan untuk memperbaiki diri lebih baik. Dia menyadari bahwa menjalin hubungan bukanlah suatu keharusan yang dijalani, bukan satu-satunya sumber motivasi serta mengganti motivasinya lebih berorientasi ke diri sendiri. Dia menyadari bahwa masalah tersebut sebagian tidak sepenuhnya di luar kendali dan dia mengambil tanggung jawab atas segala sesuatu yang ada di dalam kendalinya.
Beberapa bulan kemudian, masalah yang semula menumpuk, perlahan mulai terselesaikan, bahkan passionnya akan karir yang ia pilih semakin meningkat. Dia jadi menikmati proses belajar yang ia jalani. Lingkungan keluarganya pun mulai membaik dengan sendirinya, meskipun situasi tetap tidak normal. Pertemannya sangat sedikit, tapi benar-benar berkualitas dan dia tidak lagi menggantungkan motivasinya pada asmara dan menganggapnya sebagai keistimewaan yang baik jika ada, namun jika tidak pun, tidak perlu terlalu dipikirkan.
Dia mulai merasakan bahwa sebenarnya masalah-masalah yang ia hadapi sebelumnya, tidak keseluruhan akan terus terjadi di dalam hidupnya dan mental yang terbangun memungkinkan dia untuk hidup berdampingan dengan masalah yang memang di luar kendali, hanya saja ia melihatnya dari sudut pandang lain.
Dia merasa dirinya menjadi lebih baik, mentalnya lebih kuat, dan karakternya lebih terbentuk. Dia menjadikan batu besar yang saat itu memancingnya untuk mengakhiri hidup menjadi pecahan-pecahan kecil dan disusunya untuk terus berkembang.
Mentalitas yang terbentuk ini menjadi kebiasaan bagi dia dan menganggap masalah yang datang sebagai tantangan menarik untuk dipecahkan, karena dia merasakan kebahagian luar biasa dari berhasil menghadapi masalah-masalah tersebut. Dia selalu melihat masalah dengan sudut pandang pembelajaran, mencari hal apa yang bisa menjadi pelajaran baginya.
Terjadilah Berdasarkan Persepsimu
Mari kita pikir sejenak, mengapa tubuh dan organ-organ penting yang kita miliki dapat bekerja dengan baik? Hal itu dikarenakan sistem kerja mereka telah bergerak di alam bawah sadar kita tanpa kita harus perintahkan. Hal tersebut menjadi sesuatu yang otomatis karena sudah berlangsung sejak kita lahir dan sistem tubuh manusia memang seperti itu selama ratusan dan ribuan tahun yang lalu.
Apa hubungannya dengan masalah? Kita melihat kisah sebelumnya, bahwa orang tersebut sempat terus berpikiran negatif yang mendorong rasa frustasinya semakin berkembang. Semakin lama kita membentuk pikiran yang negatif, semakin sering juga kita melihat segala hal yang ada di hadapan kita sebagai sesuatu yang negatif.
Dengan sering membentuk pikiran negatif, kita secara tidak sadar memerintahkan alam bawah sadar kita untuk terus berpikiran seperti itu. Semakin sering dilakukan, semakin itu terlatih, semakin juga itu terotomatisasi. Inilah kekuatan yang sebenarnya kita miliki. Jika membangun sesuatu yang negatif terus menerus, maka secara terotomatisasi otak menganggap segala sesuatu sebagai masalah yang menyusahkan. Hal ini dapat kita lihat dalam diri orang-orang yang selalu mengeluh atas segala situasi yang dihadapinya, sekecil apapun masalah tersebut. Namun kabar baiknya, hal ini juga bisa kita terapkan untuk membentuk pikiran yang positif.
Sebagai contoh dari kisah tersebut, orang itu sempat terjebak dalam pola pikir negatif, lalu memutuskan untuk mengubah sudut pandangnya ketika melihat situasi diri dan kesehatan yang memburuk dan keadaan juga tidak membaik, sehingga dia dapat dengan sadar menghentikan otomatisasi pikiran negatif tersebut, lalu mulai berproses untuk membangun ulang lingkaran yang baik.Dilarang Mengeluh?
Paragraf sebelumnya telah disebutkan bahwa kita perlu berhati-hati dengan pikiran kita yang negatif agar tidak terus menerus membuat kita mengeluh atas setiap masalah yang dihadapi. Apakah berarti mengeluh tidak diperbolehkan?
Mengeluh sebenarnya adalah respon wajar dari manusia ketika bertemu suatu hal yang menjengkelkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya. Salah satu contohnya adalah dengan menghela nafas. Itu berarti, mengeluh sangat diperbolehkan, karena itu sebenarnya adalah reaksi kita untuk melepas stress. Namun, yang tidak diperbolehkan adalah mengeluh secara konstan tanpa perbuatan yang dilakukan.
Dengan mengeluh, kita mengakui bahwa masalah tersebut memang tidak enak dialami dan memang menyusahkan sehingga wajar. Namun, jika kita biarkan terus menerus, hal ini akan menambah berat beban yang dilihat oleh kita terhadap masalah tersebut. Semakin berat, maka semakin menganggap bahwa masalah tersebut di luar batas kita dan semakin kita merasa sebagai korban atas suatu peristiwa, padahal sebenarnya masih bisa diusahakan dan masih ada tanggung jawab yang bisa ia ambil.
Jika disertai usaha, maka kita membuatnya menjadi lebih imbang, tidak hanya mengeluh terus. Dengan usaha, kita berdaya dan memegang kendali atas tanggung jawab seharusnya yang bisa kita usahakan dalam menghadapi masalah tersebut. Setiap usaha yang menghasilkan, akan menambah kepercayaan diri kita dalam menghadapi masalah tersebut dan ini terus meningkat hingga masalah berhasil dilalui dan itu akan menambah pencapaian kita.
Jika masalah di luar kendali kita, tidak ada hal yang bisa dikeluhkan. Kita hanya cukup menghela napas panjang dan mengatakan, "Yahh, memang begitulah!" dan mulai membiasakan diri hidup berdampingan dengan sudut pandang yang berbeda.
Pada dasarnya, mengeluh adalah respon alami terhadap stres dan itu baik, menandakan kita masih merasakan emosi atau belum mati rasa. Namun, jika terlalu sering dan berlarut larut, justru itu akan mematikan semangat juang kita. Jadi, bijaklah menggunakannya.
Terjebak Sebagai Korban
Sebelumnya telah disebutkan bahwa kita mudah
sekali terjebak dalam situasi yang memerankan diri sebagai victim. Apa
maksudnya? Nampaknya, manusia senang sekali terlihat menderita dihadapan
orang-orang karena ingin mendapatkan simpati yang lebih banyak. Setiap
manusia sebenarnya memiliki sifat ini, namun kadarnya saja yang berbeda.
Contoh nyata ketika ada teman curhat, tak sedikit dari mereka malah
membandingkan dirinya seakan-akan lebih menderita dibandingkan teman yang
curhat tersebut. Biasanya diawali dengan kata-kata, "Kamu masih lebih
mending. Aku ......." atau "Itu mah belum seberapa dibandingkan ......".
Mentalitas terjebak sebagai korban seakan-akan membenarkan dirinya untuk bertindak sesuai yang dia mau dan melepas tanggung jawab yang sebenarnya ia miliki untuk ambil andil dalam suatu permasalahan. Mereka berperan sebagai korban ketidakadilan sehingga diharapkan orang lain memakluminya. Itulah mengapa berperan sebagai korban tidaklah baik jika terus dilakukan dengan kesadaran dan disengaja tanpa introspeksi diri.
Jangan sampai masalah-masalah yang sebenarnya remeh malah dianggap sebagai beban yang sangat berat. Jangan sampai kita berlebihan menanggapi masalah. Kita terkadang terlena ketika berbicara dengan orang lain dan menceritakan kisah seakan-akan kita memiliki masalah yang paling berat dari semuanya, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Jebakan pikiran yang dibuat akan melemahkan dirimu sendiri dan mematikan peran yang sebenarnya bisa kamu kendalikan.
Pola pikir 3p
Pada artikel sebelumnya kita sempat membahas sedikit mengenai pola pikir 3P dan penyebabnya. Namun, mengapa ini perlu dihindari? Pola pikir ini bisa secara alami muncul ketika kita menghadapi suatu masalah yang membuat kita merasa putus asa.
Pola Pikir ini saya kenali secara teknis pada buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring, yang dikemukakan oleh psikolog Martin Seligman. Sebelum membaca buku itu, saya ternyata seringkali terjebak dalam pola pikir 3P ini dan saya mengakui teori tersebut terbukti secara nyata.
Pola pikir 3P terdiri atas Personalization,
Pervasiveness, dan Permanence. Personalization menanggap bahwa masalah
tersebut terjadi karena murni kesalahan diri, menyalahkan diri berlebihan,
padahal dia tidak memegang porsi 100% sebagai penyebab masalah tersebut.
Jika ini terus terjadi, malah akan semakin menambah beban diri dan menganggap kita selalu salah dan memperkuat rasa putus asa yang dirasakan akibat
kegagalannya. Hal ini bisa menyebabkan rasa rendah diri dan orang lain juga akan memandang diri kita rendah. Sudah merasa rendah dan semakin direndahkan, jelas kita akan frustasi.
Pervasiveness menganggap masalah di satu
aspek berdampak pada masalah lainnya, padahal bisa jadi satu masalah dengan
masalah lain tidak ada kaitannya, atau yang sudah kita bahas, masalah
tersebut sebenarnya bersifat atomik. Jelek di mata kuliah kalkulus, bukan
berarti semua mata kuliah akan mendapat nilai serupa. Hubungan yang
diselingkuhi, bukan berarti setiap pasangan akan melakukan hal yang sama.
Bukan berarti selama kita berusaha menjalin hubungan, kita akan selalu
mengalami perselingkuhan.
Permanence artinya menganggap bahwa masalah
yang terjadi saat itu akan terus kita alami dan dampaknya tidak akan pernah
hilang. Anak yang mendapat nilai jelek saat sekolah akan menganggap bahwa
seumur hidupnya, dia akan mendapat penilaian yang rendah dan membatasi
kemampuannya untuk mendapatkan hasil yang baik. Lebih jauh lagi, kita akan
terperangkap sebagai korban atas suatu masalah, menganggap diri tidak
berdaya dan membenarkan perilakunya yang pasif dengan membiarkan masalah
tersebut terus ada tanpa ada usaha pertanggungjawaban yang sebenarnya bisa
ia lakukan.
Pola pikir ini perlu kita sadari karena sebenarnya ini pasti terjadi. Maka kita perlu bentuk pengendalian diri dan menyadarkan setiap kali pola ini terbentuk setiap kali kita menemui masalah
Menjalani Hidup yang Lebih Baik
Pada akhirnya, kita sudah mengetahui segala macam hal mengenai masalah dan bagaimana cara kita menghadapi masalah tersebut, bertanggung jawab atas bagian dari diri kita, dan bagaimana kita bisa memanfaatkan masalah tersebut untuk berkembang. Namun, semua pembahasan di atas dan pada artikel sebelumnya tidak berarti jika diri kita sendiri tidak ada niat untuk berusaha.
Sia-sia saja melakukan konsultasi ke 1001 dokter psikolog, beribadah setiap hari siang malam, dan curhat ke setiap orang yang ada jika dari diri kita sendiri tidak ada keinginan untuk melepaskan diri dari rasa putus asa dan mengambil tanggung jawab atas perasaan kita mengenai masalah tersebut.
Semoga dengan pembahasan ini, dapat meningkatkan kesadaran diri kita, memotivasi kita untuk bisa lebih bertahan dan menyerang setiap masalah yang ada, karena pada dasarnya, mental yang kuat perlu dilatih dan memang dibutuhkan karena serangan masalah akan terus terjadi.
Komentar
Posting Komentar