Melawan Takdir

"Ya, ya, ya, si tuan takdir ya. Baik, baik, terserah dia mau bilang apa. Memangnya aku mau menuruti orang itu begitu saja. Terserah aku mau melakukan apapun sesukaku."

 

~ Yami Sukehiro - Black Clover ~

~~~ :*: ~~~

    Dialog salah satu film anime yang menginspirasi gw untuk menulis topik tentang takdir ini. Topik yang menarik, dan gw ingin membawa sudut pandang baru mengenai takdir. Gw sendiri ragu apakah takdir manusia memang sudah ditentukan begitu saja? Karena gw menemui segala kejanggalan dari persepsi orang-orang mengenai takdir. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang percaya mengenai takdir, artikel ini akan coba membahas secara kritis mengenai takdir.

    Mereka percaya, bahwa hidup mereka sudah ditakdirkan menjadi sesuatu. Mereka sudah disiapkan jalannya untuk menjadi apa yang telah ditakdirkan kepada mereka. Bertingkah laku dan bekerja sesuai jalan yang mereka yakini. Malah orang-orang mulai terlena dengan kata takdir atau menyalahkannya.

    Manusia dalam masyarakat umum, banyak sekali menggantungkan hidup mereka pada takdir. Kegagalan yang dialami terus mereka akan bilang, "Itu sudah takdir". Seorang anak mendapat nilai jelek terus, "Sudah takdir". Tidak mendapat pasangan hingga saat ini namun mengeluh terus, "Jodoh ga akan kemana". 

    Khususnya di Indonesia, setidaknya sampai tulisan ini dibuat (2021), ketika memasuki jenjang pendidikan menengah atas (SMA), stereotype bahwa anak IPS hanyalah pembuat masalah dan jurusannya jauh lebih mudah, sehingga mereka yang terkena dampaknya, terpaksa menanggung beban yang dibuat oleh masyrakat, dan setiap kali gagal, mereka akan berkata, "Ya sudah takdirnya." Semudah itu manusia membuat begitu banyak kesalahan, membuat streotype, menyalahkan dan melempar rasa frustasi dan patah semangat tersebut kepada satu kata, TAKDIR.

Takdir yang Telah Ditentukan

    Sadar atau tidak, ketika kita membuat sebuah stereotype, mengenakan suatu label kepada sekelompok orang tertentu, atau memaksa seseorang menjadi seperti sesuatu yang mereka inginkan, secara tidak langsung kita sudah menjadi tuhan (dengan t kecil) yang menentukan takdir dan jalan hidup orang-orang tersebut. Siapa kita yang berani menentukan takdir orang lain padahal tujuan hidupnya sendiri masih berantakan. 

    Mereka yang terkena label tersebut, di bawah alam sadar mereka atas pengaruh stereotype itu, akhirnya terbentuk pola pikir bahwa mereka harus menjalani hal tersebut seperti yang didefinisikan kepada mereka, dan ketika melakukan kegagalan atau kesalahan, maka menjadikan stereotype sebagai alat untuk membenarkan atau menghukum diri mereka.

    Seorang anak yang terus mendapat peringkat satu di kelasnya dan ketika sekali mereka mendapat nilai jelek, teman-temannya akan berkata, "Peringkat satu aja bisa dapat nilai jelek." dan dirinya akan beranggapan, "Aku seharusnya tidak boleh mendapat nilai ini. Gw harus berjuang lebih untuk tidak merusak citra peringkat atas gw", tanpa mereka sadari bahwa mereka juga manusia, bisa jatuh juga. Tak mungkin selamanya bisa hidup menjalani beban label yang ditanggungkan kepada mereka. 

    Seorang anak yang dicap bejat, pertama kalinya berbuat baik dan belajar sungguh-sungguh, membuat orang-orang sekitar terpancing untuk ngomongin, "Sok baik, pasti ada maunya." dan dengan perkataan tersebut, menguatkan mereka untuk terus bejat. Mereka merasa tidak ada gunanya melawan takdir yang telah ditentukan oleh orang lain.

    Tidak ada yang lebih menyakitkan dengan menjalani segala sesuatu untuk seumur hidup tanpa dorongan dan keinginan dari diri sendiri, hanya bermodalkan pendapat orang lain. Ketika berusaha untuk menjalani hidup yang mereka inginkan di luar label, akan terlihat seperti anomali.

Takdir yang mengikat

    Label-label dan stereotype yang dibuat oleh manusia, merupakan hasil dari kebiasaan dan perilaku sebagian orang dari kelompok masyarakat tersebut, sehingga terbentuk sebuah identitas yang dikenakan kepada kelompok tersebut. Namun perlu diingat, bukan keseluruhan orang dan setiap individu memiliki identitas tersebut, tapi sebagian besar yang ada di kelompok masyarakat tersebut, yang artinya ada aja orang yang diluar kebiasaan itu, sehingga setiap orang yang ada di dalam kelompok tersebut memiliki hak untuk hidup di luar label orang lain dan itu bukan anomali.

    Hal ini mirip dengan metode sample dalam ilmu statistika. Contoh, kita akan melakukan uji coba apakah orang desa A memiliki ketahanan fisik yang kuat. Lalu kita mulai mengumpulkan sample dari desa A yang populasinya 1000 orang. Kita mengambil sekitar 200 orang, dan didapati dari 200 orang, 150 diantaranya memiliki ketahanan fisik yang kuat.

    Berdasarkan hasil uji coba tersebut, orang-orang yang bekerja di bidang statistika akan membuat kesimpulan, bahwa sebagian besar orang desa memiliki ketahanan fisik yang kuat. Perlu diperhatikan pemilihan kata yang digunakan untuk membuat kesimpulan. Mereka akan menggunakan kata-kata seperti, "mungkin" atau "sebagian", karena mereka tahu, 150 dari 200 orang yang terbukti, tidak serta merta menjadikan 1000 orang di desa A memiliki ketahanan fisik yang kuat, namun sebagian besar memenuhi kesimpulan tersebut.

    Ketika ada label atau stereotype atau  takdir yang dibentuk oleh orang lain dan dikenakan kepada diri kita, kenapa kita harus begitu saja mengikuti keinginan mereka. Kenapa kita menyerahkan diri kepada takdir dan tidak mau berusaha lebih dan melawannya jika memang tidak sesuai dengan keinginan kita? 

    Sebagai individu, setiap orang memiliki identitiasnya masing-masing. Jika lo hidup dalam sekelompok masyarakat beridentitas pedagang, bukan berarti identitas diri lo sendiri harus jadi pedadang juga. Berlaku sama, jika lo tinggal di sebuah lingkungan yang dianggap sebagai lingkungan orang-orang menyebalkan, yang pekerjaannya hanya mengganggu orang lain, bukan berarti lo menyebalkan juga dan kerjaannya ganggu orang terus, tidak perlu tunduk pada label dan takdir yang diberikan orang lain.

    Pernah melihat di toko swalayan, buah pisang yang dipasangi label harga apel? Apakah pisang tersebut berubah rasanya menjadi rasa apel?

Menjadikan takdir sebagai buaian hidup

    Kita terkadang mempercayai, hidup kita sudah ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang membanggakan dan membahagiakan dan akan hidup baik-baik saja. Namun, ada faktor lain yang harus diperhatikan, yaitu tanggapan kita atas hal ini. 

    Ilustrasinya seperti ini. Masyarakat masih meyakini, bahwa jodoh sudah ditentukan. Jika memang berjodoh, pasti akan ada jalan. Permasalahannya adalah, apa yang akan kita lakukan? Jika kita meyakini ini mentah-mentah, maka mudah sekali terjerumus dengan rasa malas, karena kita yakin bahwa hal baik akan datang. 

   Tapi, jika lo hanya berdiam diri tidak menemui siapapun, tidak berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, tidak memperhatikan penampilan dan kesehatan, apa lo masih berharap bahwa jodoh akan datang, mengetuk pintu rumah dan mengatakan, "Aku adalah jodohmu?"

    Sama halnya seperti menyakini bahwa hidup kita akan baik-baik saja karena kita sudah ditakdirkan begitu. Tetapi yang kita lakukan hanya bermalas-malasan, bahkan cenderung bersifat destruktif. Ambil contoh seorang anak kaya raya yang terlahir di keluarga yang kaya raya, memiliki koneksi yang luas, kehidupan pribadi yang selalu terpenuhi baik secara kebutuhan dan keinginan, seakan ditakdirkan untuk menjadi orang pilihan menjalani kehidupan yang begitu baik. 

    Namun anak tersebut hanya memakai saja kekayaan tersebut, merendahkan orang lain, tidak mengalami kesulitan apapun, dan tidak mau mempelajari apapun, hanya ingin dilayani. Apa lo yakin bahwa anak ini akan tetap dirawat oleh si tuan takdir yang baik? Bagaimana bisa lo menggantung hidup begitu saja tanpa usaha kepada takdir?

    Jika hanya menyakini takdir yang baik dan menjadikannya sebagai alasan untuk bermalas-malasan, arah hidup pun akan berpaling dan menjadi lebih buruk. Sama seperti anggapan jodoh yang tidak akan kemana.

Kendali dan Tanggung Jawab

    Sekolah ternama di sebuah kota, memegang label sebagai sekolah terbaik dan  semua orang menganggap bahwa semua anak yang bersekolah di tempat itu meraih nilai yang tinggi-tinggi dan berkarakter yang baik. Ketika ada seorang anak yang mendapat nilai rendah, menurut lo apa yang akan terjadi ke anak itu?.

    Kita pasti pernah mendengar hal serupa. Ketika kita mendengar sekolah A, pasti muncul anggapan, sekolah ini anak-anaknya seperti ini. Padahal, pengaruh utamanya bukanlah di sekolah tersebut, tapi ada pada diri anak yang bersekolah disana

    Inilah intinya, yaitu diri individu itu sendiri. Kita sudah tahu pada artikel sebelumnya berjudul "Buat kebahagiaan lo sendiri" dan "Apa yang Akan Lo Sesalkan Setelah Mati", bahwa diri kita memiliki kendali yang begitu besar terhadap segala hal dalam kehidupan dan kebahagian. Terserah apapun anggapan orang kepada kita, stereotype apa yang mereka kenakan, kita selalu memiliki kendali untuk mau berbuat apa dan mengubah takdir menjadi apa. 

    Seseorang yang lahir di lingkungan yang baik bukan berarti dia ditakdirkan penuh dengan kebaikan dan memiliki masa depan yang aman. Seseorang yang berada di lingkungan buruk, bukan berarti dia ditakdirkan menjadi orang yang sial dan harus selalu berlaku buruk. 

   Apapun kendalanya, apapun lingkungan tempat kita tinggal, tidak serta merta takdir ditentukan hal-hal tersebut. Selama kita memiliki keyakinan dan memiliki kesadaran penuh bahwa hidup adalah tanggung jawab kita, bukan tanggung jawab takdir, kita bisa mengubah arah hidup ke arah yang kita mau, setidaknya lebih baik.

    Jika kita menemui kegagalan terus menerus akibat kekurangan yang ada dan kesalahan yang lo buat, atau kehidupan yang menjadi menyedihkan karena kita sendiri yang bertindak seenaknya, jangan menjadi orang bangsat yang tidak berguna dan menyalahkan takdir atas apapun yang terjadi akibat kelalaian sendiri dan tidak mau belajar dari itu. 

    Kita selalu punya kuasa untuk menentukan perbuatan yang membawa konsekuensi dan apa yang akan terjadi pada kita, dengan kesadaran bahwa tanggung jawab dan kendali ada pada diri kita. Persetan dengan orang lain yang mau melabeli dan menjadikan kita bahan pembicaraan, takdir kita ditentukan dengan perbuatan kita, bukan mereka. Sama seperti label supermarket tadi. Jika orang lain menempelkan label harga apel pada pisang, bukan berarti pisang tersebut menurut begitu saja dan berusaha menjadi apel. Jangan bodoh atas hal yang sia-sia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

101 Bersahabat dengan Masalah

Usaha yang Mengkhianati Hasil

Dimana Benderaku Saat Ini?